Friday, June 19, 2015

Dancers, I Love

We're all strangers in the beginning.
I never really consider that in the end we have a connection, a soulful and very strong connection,
through dancing, of course.
I don't know, we share same passion, same excitement, move together, have a lot of laugh, and I feel close, so close.
I'm very thankful to Hyang Widhi, I have met them.
I'm very happy, makes me keep smiling.
Feels like I find LOVE.
And I don't wanna be apart.

Yes, I LOVE you all.

Can't wait until our next performance.


Wednesday, April 8, 2015

Semusim, Empat Musim, Cinta

Pernah membayangkan empat orang PNS Kementerian keuangan fushion menulis sebuah novel cinta?

Yes, inilah dia, 4 Musim Cinta, sebuah novel yang ditulis oleh empat punggawa Kementerian Keuangan, tepatnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Saya tidak akan bercerita banyak tentang pegawai Kementerian Keuangan yang menulis novel. Cukup tahu saja kalau satu-satunya wanita yang menulis novel ini adalah kenalan     -sekaligus senior- saya di kampus. Senior satu perkumpulan rohani sekaligus berasal dari pulau yang sama, Bali.

Saya bukanlah penyuka novel bergenre romantis. Jujur, awalnya saya berminat untuk membacanya hanya karena novel ini adalah buah karya PNS Kementerian Keuangan, yang menurut saya dengan mereka menelurkan sebuah novel mereka telah melangkahi batas-batas imajinasi PNS pada kebiasaannya dan menjadikan saya seorang pengagum. Kemudian dikuatkan dengan sinopsis yang tertera di sampul belakang buku 
“Gayatri, wanita Bali yang merasa berbeda dengan wanita-wanita pada umumnya”.

Pertanyaan saya kemudian, “Apakah semua wanita Bali seperti ini?”

Saya menikmati membaca buku ini. Demikian puitisnya keempat penyair yang bersekutu menghasilkan cerita yang secara mengejutkan nyambung! Menulis sendirian saja sudah susah untuk menggiring plot agar tidak membosankan. Nah ini berempat! Sayapun dibuat penasaran dengan teknik yang digunakan.

Oh baiklah, mari saya ceritakan sedikit (perasaan saya) tentang buku ini.

Judul: 4 Musim Cinta
Penulis: Abdul Gafur, Pringadi AS, Puguh Hermawan, Mandewi
Penerbit: Exchange
Tahun Terbit: Maret 2015
Jumlah Halaman: 333
ISBN: 9786027202429

Dalam buku ini diceritakan empat orang yang entahlah, tapi mari kita sebut dengan sahabat, Gayatri, Pring, Arga, dan Gafur. Mereka yang dipertemukan dalam sebuah diklat (kegiatan pendidikan dan pelatihan) adalah pribadi-pribadi yang sebetulnya memiliki kesamaan, lengkap dengan masalahnya masing-masing. Tentu saja, masih masalah cinta dan romantika.

Gayatri,

Seorang wanita asal Bali. Digambarkan dengan mantap dan sukses oleh Mbok Mandewi. Wanita Bali selalu berusaha untuk jadi mandiri, tegar, dan tidak bergantung pada siapapun. Itulah yang dididik oleh orang tua kami. “Kami”, ya saya adalah seorang wanita Bali tulen. Gayatri, wanita Bali rantauan, ternyata di masa lalu jatuh cinta dengan pria yang sangat jauh berbeda, suku, agama, ras, yang tidak akan mungkin menjadi sesuatu yang sederhanana di negara kita ini. Oh, tentu saja mereka tidak bersatu. Gayatri dengan rasa percaya diri, kemandirian, dan orisinilitasnya, membuat dia terlihat istimewa. Mungkin bukan paras yang sempurna atau tubuh yang ideal, namun you just being you yang membuat dia terlihat paling bersinar.
Sikap Gayatri, konflik dalam dirinya, membuat saya membanding-bandingkan dengan diri saya, dan bertanya-tanya,
“Apa semua wanita Bali memang begini?”
((Mbok, sepanjang membaca buku ini saya selalu membayangkan Mbok adalah Gayatri dan mengalami sendiri semua yang dituangkan dalam buku ini))

Pring

Pring adalah keromantisan itu sendiri. Seseorang yang digambarkan dapat meluluhlantakkan hati seorang wanita hanya dengan menatap dan mengucapkan sebaris kalimat. Semua yang keluar dari mulut Pring adalah magis. Pring seolah-olah merangsang semesta berkomplot membuat yang berhadapan dengannya seketika terpesona.
Mengenal Pring membuat saya ingin menanyai semua laki-laki –juga wanita- Kementerian Keuangan yang LDR dengan istrinya/pacarnya, “Bagaimana kita menamai perasaan yang muncul secara tiba-tiba, tertuju kepada orang lain yang bukan pasangan?”

“Kenapa perasaan manusia begitu mudah berubah?”
“Semesta akan bekerja lebih banyak daripada kita”

Baiklah Pring, mungkin 

Cinta itu mudah,
Namun mencintai adalah sebuah pilihan yang sulit.

 Arga

Entahlah Arga, saya tidak terlalu mengenal kamu. Yang saya rasakan kamu adalah sosok yang tidak tegas. Saya ragu kamu tahu dengan pasti apa yang kamu mau.

Ada banyak sekali Arga di sekitar kita. Dia yang ketika (seperti) menemukan tujuan hidupnya, berkali-kali harus kecewa. Arga yang charming, periang, namun jauh di dalam hatinya (ternyata) kesepian.
Mungkin yang kamu butuhkan adalah seseorang yang kamu percaya untuk berbagi keluh kesahmu, yang setia menemanimu, menepuk-nepuk kepalamu saat kamu sedih, seseorang yang seperti ibumu.
Ah tapi buat apa saya (sok) mengerti kamu. Mungkin kamu dengan gampang akan menemukan yang lebih dari itu. Jika saya adalah temanmu, akan saya sarankan, "Berdamailah dengan dirimu sendiri".

Apakah Mas Puguh pencipta sosok Arga? Atau dia adalah bagian lain dari diri Mas? Saya bisa merasakan kegalauan Arga dalam setiap tindakannya. Ah, dasar lelaki galau.

Gafur

Gafur adalah yang paling vulgar. Keberanian menceritakan sosok Gafur dengan demikian “polos” sangat mencengangkan ya. Saya langsung berpikir “Benarkah Gafur itu ada?”
Bercinta dengan seorang barista, hingga memimpikan hidup bersama, adakah cinta yang seperti itu Mas?
Tapi dengan gaya penceritaan itu saya bisa membayangkan apa yang terjadi dengan Gafur. Cinta, obsesi pekerjaan, dan aktualisasi diri, permasalahan-permasalahan lazim yang dialami PNS Kementerian Keuangan bukan?

Awalnya saya pikir ketiganya mencintai Gayatri diam-diam. Tapi cerita yang dibuat penuh teka-teki memang menarik ya. Apalagi teka-teki hati.

Terimakasih buat Mbok Kumara “Mandewi”, Mas Gafur, Mas Puguh, dan Mas Pringadi yang telah dengan sukses mengangkat problematika para PNS Kementerian Keuangan dalam sebuah cerita yang menarik.
Saya tunggu buku selanjutnya ya!

Salam,
Putu Gian
PNS Ditjen Bea dan Cukai

Kementerian Keuangan RI

Saturday, January 31, 2015

Revisiting Medan

I had promised myself, when I had second opportunity visiting Medan I would never wasting it.Then I got the chance in this beginning of 2015. This time I didn't take train services from Kualanamu International Airport to Medan because we had been picked up by team (I visited Medan because of something related my work as an officer). Such my prediction, I spent about 2 hours to reach Medan from the airport because of traffic (normal time is about 45-60 minutes, and ya by train it's 45 minutes without traffic and delay).
I could see the same city as Medan that I had visited last year. City with culinary pleasures, that sure make your weigh scale move forward. And eventhough you know it would happened, you still can't refuse it. I thought It's temptation is more than having selfie with Reza Rahardian.


Couple years ago, Medan in my mind is a harsh city as reflected in the way abang-abang angkot speaks and talk, and their driving style (some I found when I was in college). I thought that Medan is a city with full of reckless drivers, and that's all. But yes, I prove myself wrong.

Now I experienced myself, Medan, city that has diversity in it's society, dominated by Suku Batak, Melayu, dan Tionghoa. I could feel I could feel the acculturation when seeing the buildings. I saw many old buildings that remind me of Kota Tua, Jakarta. And those building is still used as office buildings until now.

Because of still on duty, I didn't have much time to visit all of Medan's icon like Danau Toba or the beauty of Berastagi. Only few I did visit.

Istana Maimoon (Maimoon Palace)




was built more than 100 years (was built on 1888) by Sultan Deli ke-IX, Sultan Ma'moen Al Rasyid. this palace is one of the Indonesian heritage and cultural site, and icon of Medan at once. Maimoon Palace has beautiful architecture, acculturation of Islam Melayu, India, Italy, and Spain. The entrance ticket is surprisingly very cheap, only IDR 5.000 that would be used for maintenance and take care of that heritage. You can also rent costumes and take photo wearing it by paying IDR 10.000.


Graha Maria Annai Velangkani


I do smiling when hear it's name. Pretty, isn't it?:) .Graha Maria Annai Velangkani is a church with touch of Indian architecture. At first, I thought It was a temple. It looks like Vihara too. It has a beautiful architecture that worthed to chase by 40 minutes driving. It's located quite far from the downtown but it would be no problem because there was no traffic. My friend told me that we could see paintings when we took step on the stairs. The paintings would told us about life circle from day 1 to 7 where on the 7th day was time for us to take a break and pray to God. Oh I see, this was one of the fundamental philosophy in Catholic.


Ucok Durian


Well, frome those bunch of culinary place in Medan, would be unperfect without visiting this place. Bang Ucok, I visited this Durian house at about 10 pm and it's still crowded. Oh my diet! At first I promised myself to not tasting it even though I love Durian so much. But my determination easily gone when I smell it. Haha! For you who love Durian It looks like heaven. Although the place was just like "kaki lima" but it's crowded. I didn't understand why the people keep coming at that time (too late to have Durian as dinner). Weren't they afraid of illness that might come because of Durian?. Well normally (in the afternoon with bright blue sky) I could have one whole of those fruit by myself. Yes, I'm a lover! So I felt really excited and happy to go there. That night I only ate a little (because it's already 10 pm! I couldn't burn it all anymore, haha), the rest was took photos with Bang Ucok, the founder!

I hadn't satisfy enough because I still wanna taste more culinary in Medan. In the last night I and team tried Wajir Seafood. They said that it was the most delicious. I told myself, were there any culinary in Medan that isn't delicious?


I promise, I'll go back again to visit more places and experience more culinary. With happy tummy and happy heart I went back, Jakarta's waiting. 

Horas Medan! 

Friday, January 23, 2015

January 23th

January 23rd is...
when you wake up happily, and is very excited about the whole day,
when your mom, dad, brother, text you saying that they love you and wish you everything the best,
when your bestfriends send you sweet messages with many wishes although there's no reminder you put on your social media,
when your bestfriends put your face on their BBM picture and change their status into wishes,
when friends you meet congrat you and say beautiful words,
when you feel really loved,
when you become older,
when you make a good start to become a better person.


HAPPY BIRTHDAY 

Monday, December 22, 2014

Mt. Bromo, a Short Trip

It’s been a while since my last trip, a real trip. Biasanya numpang jalan – jalan when i was on duty. I rarely have a trip with girl friend. Most of my trips are accompanied by bf. Well, I’m such a picky person ketika menyangkut teman bepergian. I can’t easily match with any person. But this time I went with my girl friends.
Biasanya bepergian dengan cewek-cewek itu repot. Terlalu banyak pertimbangan dan tidak praktis. Oke, it doesn’t always happened, but most does. Mungkin sebabnya kamu tidak bersama orang yang tepat. Like me, meskipun bepergian dengan cewek – cewek, tapi kami menikmatinya, tidak ribet, dan sangat spontan.
This was my first time visiting Mt. Bromo, I and Putri exactly. We’ve heard many stories about Mt. Bromo. It’s beauty, the breathtaking panorama, and of course a perfect spot for taking photos.
Mt. Bromo is located in East Java regency, tepatnya Kabupaten Pasuruan. Untuk menuju Bromo, kita dapat melalui Kota Surabaya atau Malang. Kebetulan kali ini kami semua berada di Malang (I only know that Mt. Bromo is located in Malang). We use travel from Harris Hotel Malang. Oh ya, a little review about Harris Hotel Malang, the place is so good, the foods are delicious, It has beautiful pool, lovely view, but the only but is the bad service by the Sales named R. We’re really disappointed of him.
Travel from Harris Hotel costs IDR 1.350.000 for full package trip to Mt. Bromo  (exclude the entrance ticket and the horse). We can share it with 6 persons actually, but unfortunately no one want to join us. Awalnya ada ide sharing dengan guests yang lain, tapi apa daya no one guests has same ideas with us. Kami berangkat dari hotel tepat pukul 01.00 pagi. Rute Malang – Bromo termasuk yang paling cepat (kurang lebih 1,5 jam kalau lancar). Kalau dari Surabaya kita harus berangkat sekitar jam 00.00 dini hari. Benar-benar perjuangan keras bagi orang seperti saya yang tidak pernah terjaga malam – malam.
That package we took includes acomodation (return) with Avanza and Jeep for visiting 4 spots. So these are the spots:

      Penanjakan Satu

We arrived at Bromo at 2.30 am. We’re transfered to Jeep in a parking space to reach the spots. Masih dengan mata terkantuk – kantuk kami keluar mobil menuju Jeep sewaan. I’ve heard about the cold weather jadi saya, Putri dan Bu Aris sudah bersiap-siap dengan peralatan perang baju berlapis-lapis dibungkus baju hangat. But if you don’t have enough preparation don’t be worry, begitu keluar mobil akan ada banyak masyarakat Suku Tengger (masyarakat sekitar Bromo) yang menawarkan perlengkapan mulai dari sarung tangan, topi rajut, shawl, sampai menyewakan baju hangat. And what surprises me is not too-markup-price. The price is reasonable.

Please do not mind my huge arm. It's all about the angle :P
The beautiful scenery of Bromo
Kami menempuh 30 menit untuk sampai ke Penanjakan Satu. Kami sengaja ingin sampai secepat-cepatnya agar mendapatkan momen sunrise Bromo terbaik. Ketika kami sampai, everything is still dark no view. I told my self berulang-ulang, told Putri, “Mana bagusnya?”. Well, after 30 minutes waiting, the sun rised. Mungkin karena  semalam hujan jadi langit sedikit berkabut dan kami harus menunggu lama agar dapat melihat warna langit pagi idaman, tapi view Bromo dengan lembah tertutup kabut really breathtaking.

     Bukit “Teletubbies”

I never understand why the hill was named “Teletubbies”. We had a quick visit here dan belum sempat melihat tampak sebenarnya dari Bukit Teletubbies karena kabut tebal yang masih menutupinya.
Oh ya, finally I can check my list, praying at Bromo Temple. Beruntung pemilik Jeep bersedia mengantarkan saya. Many thanks.


     Pasir Berbisik

Dinamai demikian konon karena pergerakan pasir-pasir di lembah Bromo ini menimbulkan gesekan yang terdengar seperti sedang berbisik-bisik. Taking photos here is a must! Lembah berpasir yang cantik dan fotogenik.


Kawah Bromo

This is our last spot to visit. Quite hard to reach the crater. Jika memilih berjalan kaki, perjalanan ke kawah ditempuh sekitar 30-40 menit. Kami traveller yang manja memilih riding a horse. Believe it or not, this was my first time riding a horse. Although riding horse, we had to walkng up 200 stairs to reach the crater. Lucunya, saat kami menaiki tangga, di sepanjang perjalanan banyak pendaki yang menyemangati kami. Bukan hanya kami tepatnya, pendaki tangga saling menyemangati untuk tetap bertahan melalui tangga ke-200. Super!


Those were 4 spots we reached in our quick getaway. Such a quick visit that we returned to Hotel at 9.00 am. We’re so satisfy with this trip.
Sunrise, checked.
Praying at Bromo Temple, checked.
Riding horse, checked.
Taking pretty photos, checked.

Our return trip to hotel took more times because of traffic. Arrived at 11.30 am, we prepared our luggage quickly then went toward airport to catch our flight to Jakarta.
See you again in another trip!
Xoxo, Putu Gian

*all photos by : Fardhani Hamiputri (@fardhaniputri)